Resiko Gangguan Sensori bagi Anda Gadget Mania

Hai Kawan Sehat,Apa kabar nih? Tetap sehat kan? Berikut kami akan bagikan ilmu spesial buat kita, silahkan disimak ya. “Rio sudah empat tahun, tapi sampai saat ini dia belum bisa berjalan,“ kata mamanya, Kristin, saat mendampingi Rio menjalani sesi terapi di Klinik Tumbuh Kembang Anak Rumah Sakit Ibu dan Anak Grand Family, Jakarta Utara, pekan lalu.

Perempuan berambut panjang itu menambahkan, dari sisi komunikasi, Rio juga kurang lancar. “Kalau ngomong masih seperti anak dua tahun,“ imbuhnya.

Di klinik tersebut, Rio ditangani tim dokter dari berbagai disiplin ilmu. Salah satunya, dokter spesialis kedokteran fisik dan rehabilitasi, Agatha Narinda. Dokter itu menjelaskan, Rio tengah menjalani terapi sensori integrasi. Yaitu, terapi untuk mengatasi gangguan proses sensori integrasi.

“Proses sensori integrasi merupakan proses pengolahan informasi atau sensasi yang berasal dari dalam tubuh maupun lingkungan yang diintegrasikan dalam otak. Informasi dan sensasi yang diperoleh selanjutnya digunakan untuk merencanakan dan mengorganisasi perilaku yang tepat sebagai bentuk respons,“ jelas Agatha.

Dengan program komputer yang mampu mendeteksi gelombang otak, gangguan itu bisa dilihat. Agatha menjelaskan, gangguan sensori integrasi mengakibatkan keterlambatan tumbuh kembang anak. Misalnya, telat berjalan dan bicara, anak sudah berusia dua tahun, tapi belum bisa naik turun tangga, hanya mau berjalan jika memakai kaus kaki atau sepatu, tidak bisa fokus pada suatu kegiatan, dan kontak matanya tidak normal.

“Jadi, sistem sensori anak belum matang dan belum terintegrasi dengan baik. Sehingga otak dan sistem saraf anak itu tidak mampu mengolah rangsang yang diterima pancaindera dan merespons dalam bentuk perilaku yang tepat.“

Anak yang mengalami gangguan tersebut perlu menjalani terapi sensori integrasi. Terapi itu dilakukan dengan melatih berbagai keterampilan yang semestinya dikuasai anak.

Namun, sebelumnya tim dokter akan memastikan tidak ada tumor maupun gangguan organik lain di otak anak, melakukan konsultasi psikologi, pemetaan otak (brain mapping), dan tes IQ pada anak.

Tidak ada kepastian berapa kali sang anak harus mengikuti terapi sensori integrasi untuk mengejar keterlambatan perkembangannya. Sebab, respons setiap anak berbeda-beda.

Terapi itu juga sangat membutuhkan peran orang tua. “Sebab, terapi bersama tim medis maksimal cuma 1,5 jam per sesi, 2-3 kali dalam seminggu. Padahal, anak harus banyak dilatih di rumah supaya terapi ini efektif,“ terang Agatha.

Tanpa terapi, lanjutnya, gangguan itu tidak akan pulih bahkan bisa bertambah parah karena sistem sensori anak tidak dilatih. Dampaknya sangat merugikan karena sistem sensori integrasi turut menentukan tumbuh kembang anak. Gangguan sensori integrasi bisa disebabkan karena tidak sempurnanya pembentukan otak dan saraf di masa kehamilan. “Bisa karena semasa hamil ibunya kurang asupan zat gizi asam folat, terkena infeksi, atau mengalami trauma.“

Penyebab lainnya ialah anak tidak mendapat rangsangan untuk mematangkan sistem sensori integrasinya. “Ketika bayi lahir ia sudah memiliki otak dan organ yang matang, tetapi fungsinya belum. Pematangan fungsi organ itu harus dikejar dengan memberi stimulasi yang tepat,“ jelas Agatha.

Kasus minimnya stimulasi itu kerap terjadi terutama di kota-kota besar. Minimnya lahan bermain menyebabkan anak tidak tidak bisa mengeksplorasi alam terdekatnya. Banyaknya kendaraan yang berlalu-lalang di depan rumah juga menimbulkan kekhawatiran bagi orangtua sehingga melarang buah hati mereka keluar rumah.

Untuk menyiasati kebosanan anak karena tinggal di rumah terus, banyak orangtua yang memberikan gadget seperti komputer tablet untuk dimainkan anaknya yang masih balita. Atau, membiarkan anak menonton televisi semau hati.

"Hal-hal yang demikian justru membuat pertumbuhan anak terganggu. Komputer tablet hanya merangsang sensori di ujung jari dan visual anak, sedangkan aspek sensori lainnya tertutup. Seharusnya, anak balita diberi kesempatan bermain di lapangan sebanyak-banyaknya."

Agatha juga menyarankan agar orangtua `lebih tega' terhadap anak dengan tidak selalu serta merta mengikuti kemauan anak. "Jika anak menginginkan sesuatu, usahakan agar dia mengutarakannya dengan jelas semampu dia. Misalnya, ketika ia menunjuk makanan, orangtua harus mendidiknya untuk mengucapkan `minta' atau `ta' sesuai kemampuan dia, sesudahnya baru makanan yang dia mau kita kasih."

Agatha juga menganjurkan agar orangtua memberikan peran dan tanggung jawab pada anak di rumah, disesuaikan dengan usia.

"Dimulai dari hal-hal kecil, misalnya mengumpulkan sampah di rumah dan membuangnya setiap sore. Peran ini menumbuhkan rasa tanggung jawab anak yang juga berdampak positif pada sistem sensori integrasinya."(MI/Eni Kartinah) 
PRI


http://maujugadong.blogspot.com
Subscribe/Langganan:

Social Media Widget SM Widgets


Portal Sehat Updated at: 8:32 PM